Senin, 07 Januari 2008

KONSEP PENDIDIKAN MENURUT BURHANUDDIN AZ-ZARNUJI

KONSEP PENDIDIKAN MENURUT BURHANUDDIN AZ-ZARNUJI

(Pengarang Kitab Ta’lim al-muta’allim)

Oleh:

Ansur Arsyad[1]

A. Pendahuluan

              Pendidikan merupakan sarana strategis untuk meningkatkan kualitas suatu bangsa, oleh karenanya kemajuan suatu bangsa dan kemajuan pendidikan adalah suatu determinasi, kemajuan beberapa negara di dunia ini merupakan akibat perhatian mereka yang besar dalam mengelolah sektor pendidikan. Namun tidak jarang pendidikan itu sendiri senantiasa diwarnai oleh berbagai permasalahan yang tentunya tidak habis-habisnya, hal ini disamping karena adanya perubahan orientasi dan tuntutan kehidupan umat manusia juga karena kemajuan teknologi.
              Ketika masalah pendidikan telah dipecahkan atau diselasaikan, maka akan timbul lagi masalah pendidikan yang baru dengan bobot dan volume yang berbeda dengan masalah yang sebelumnya.
              Dengan kondisi tersebut maka muncul pemerhati atau pecinta pendidikan untuk menawarkan solusinya yang dianggap paling tepat. Solusi tersebut terkadang  menunjukkan hasil yang membanggakan, dan terkadang hanya berjalan di tempat, atau semakin menambah beban permasalahan.
              Dalam dunia pendidikan Islam, kosep-konsep pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan akan banyak ditemukan, mulai dari konsep-konsep yang klasik sampai sifatnya kontemporer, mulai dari tingkatan kegiatan pendidikan yang dasar sampai tingkat perguruan tinggi, semua itu dilakukan karena ingin melihat masyarakat Islam itu tumbuh dan berkembang secara sempurnah (menjadi insan kamil). Islam sebagai salah satu agama yang memberikan spirit bagi persolan ini menjadi pemicu kenapa tokoh-tokoh pendidikan memberikan kosep tentang pendidikan, khususnya pendidikan agam Islam, sehingga apa yang di tetapkannya itu baik berupa kurikulum, tujuan, guru, metode maupun yang lainnya selalu berdasar dan selalu disandarkan pada misi ajaran agama tersebut. 
              Kalau kita melirik sejarah peradaban ummat Islam maka akan ditemukan bahwa memang betul bahwa pendidikan Islam pernah mengalami kemajuan pada masa kejayaan Islam, namun hal itu bukan berarti bahwa pendidikan Islam itu terhenti pada masa itu saja, pendidikan Islam akan mengalami regenerasi yang di harapkan mampu menandingi  lagi kemajuan pendidikan yang pernah dicapai sebelumnya. Walaupun sekarang dunia pendidikan Islam mengalami kemundurun jika dibandingkan dengan dunia pendidikan non Islam. Tapi bukan berarti bahwa kejayaan dunia pendidikan tidak bisa lagi dicapai, yang terpenting sekarang adalah kemauan, bukankah Islam memiliki kosep tetang pendidikan yang sangat menggelobal.
              Dengan demikian bertolak dari persolan tersebut maka dalam tulisan ini akan diuraikan kembali konsep-konsep pendidikan yang di kemukakan oleh tokoh pendidikan Islam, Salah satunya yaitu Seykh Burhanuddin Az-Zarnuji (Pengarang Kitab Ta’lim al-muta’allim). 
              Tulisan ini lebih jelasnya menguraikan konsep pendidikan Az-Zarnuji secara global kemudian di analisis dan pendekatan kontempoter sehingga di harapkan mampu memberikan sumbangsih dalam dunia pendidikan. 
B. Biografi Burhanuddin Az-Zarnuji
Nama lengkapnya adalah Burhanuddin Al-Islam Az-Zarnuji, diklangan para ulama belum ada kepastian mengenai tanggal kelahirannya, akan tetapi mengenai kewafatannya terdapat dua pendapat, pertama mengatakan bahwa beliau wafat pada tahun 591 H/1195 M, dan pendapat yang kedua yaitu bahwa beliau wafat pada tahun 840 H/ 1243 H, di samping kedua pendapat tersebut terdapat pula keterangan bahwa Burhanuddin Al- Islam Az-Zarnuji hidup semasa dengan Rida ad-Din an-Naisaburi yang hidup antara tahun 500-600 H, atau abad ke-6 Hijrah bersamaan abad ke-12 Masihi.
Begitu juga tidak ada kejalasan secara pasti tempat kelahirannya, akan tetapi dilihat dari nasabnya, yaitu Az-Zarnuji berasal dari Zaradj atau yang kini dikenal dengan nama Afganistan.
Mengenai riwayat pendidikannya dapat diketahui bahwa Az-Zarnuji menuntut ilmu di Bukhara dan Samarkand, yaitu kota yang menjadi pusat ilmu pengetahuan pada saat itu. Dan yang menajdi guru beliau di sana di antaranya Burhanuddin al-Marginani, Syamsuddin Abd al-Wajdi Muhammad bin Muhammad bin Abd as-Sattar al-Amidi, selain itu juga beliau juga belajar kepada Ruknuddin al-Firginani (seorang ahli fiqh, sastarawan, dan penyair) yang wafat tahun 594 H/ 1196 M, Hammad bin Ibrahim (Seorang ahli kalam, sastrawan dan penyair) wafat tahun 594 H/ 1170 M, dan Ruk Al-Islam Muhaamd bin Abi Bakar atau yang dikenal dengan nama Khawahir Zada ( Mufti Bukhara dan ahli fiqh ) yang wafat tahun 573 H/ 1177 M. dan lain sebagianya.[2]
Dengan demikian dapat diketahui bahwa Az-Zarnuji bukan hanya ahli dalam bidang pendidikan tapi juga unggul dalam dunia fiqh, tasawwf, sastra dan ilmu kalam.  
Tetapi beliau ini hanya tersohor dalam dunia pendidikan, maka jadilah sebagai seorang ilmuwan Arab Islam yang handal dalam bidang pendidikan. Banyak karya yang pernah ia buat dan sangat mewarnai dunia pendidikan Islam sampai saat ini diantara kitabnya yang terkenal yang banyak di pergunakan dan diamalkan isinya adalah “Ta’lim al-muta’allim”.
C. Kondisi Pendidikan  Pada Zaman Az-Zarnuji  
Dalam sejarah Islam maka terdapat 5 (lima) tahap pertumbuhan dan perkembangan dunia pendidikan Islam. Pertama, pendidikan masa Rasulullah SAW (571-632 H). Kedua, masa Khulafaur Rasyidin (632-611 M). Ketiga masa Bani Umayyah di Damsyik (661-750 M). Keempat masa kekuasaan Abbsiyah di Bagdad (750-1250 M ) dan Kelima pada masa jatuhnya kekuasaan Khalifah di Bagdad (1250 - sekarang).[3]
Dari kelima pase tersebut Az-Zarnuji hidup seekitar abad 12 (591-640 H/ 195-1243 M), yaitu pada masa/priode ke empat dari pada pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam. Dalam catatan sejarah priode ini adalah priode kejayaan dan keeamasan peradaban Islam pada umumnya dan pendidikan Islam pada khususnya. Pada masa ini pendidikan Islam berkembang begitu pesat yang ditandai dengan munculnya berbagai lembaga pendidikan, mulai dari tingkat dasar sampai tingkat perguruan tinggi, diantaranya lembaga pendidikan tersesebut adalah Nizham Al-Mulk (457 H/106 M), madrasah An-Nuriyah al-Kubra yang didirikan oleh Nuruddin Mahmud Zanki pada tahun 563 H/1167 M di Damaskus, Madrasah Al-Mustansiriyah yang didrikan oleh Khalifah Abbasiyah Al-Mustansir Billah di Bagdad tahun 631 H/ 1234 M, dan sekolah ini dilengkapi dengan fasilitas yang mencukupi pada masanya.[4] Dengan demikian dapat ketahui bahwa Az-Zarnuji hidup dalam lingkungan yang memang bernuasa pendidikan yang mencukupi untuk membuat ia seoarang tokoh pendidikan sepanjang sejarah.

D. Konsep Pendidikan Az-Zarnuji

Pendidikan dalam Islam memiliki makna sentral dan berarti proses pencerdasan secara utuh, as a whole, dalam rangka mencapai Sa’adatuddarain, kebagiaan dunia akhirat, atau keimbangan meteri dan religiuous-spiritual. Salah satu ajaran dasar Nabi adalah intelektualisasi total, yakni proses penyadaran kepada umat dalam berbagai dimensi kehidupan (Wajadilhum billati hia ahsan : Qur’an, 16: 125 )

Di dalam karangan Az-Zarnuji yang terkenal “Ta’lim al-muta’allim” Terdapat beberapa monumental yang sangat mendalam yang diuraikan secara rinci muli dari pada konsep memulai belajar sampai kepada indikator-indikatir yang yang menggiring seseorang berhasil dalam menuntut ilmu. Kansep-konsep yang di tawarkan Az-Zarnuji sangat berperan dalam kemajuan dunia pendidikan khsusnya pendidikan Islam, walaupun hal-hal tersebut ada yang tidak relevan dengan kondisi dan situasi sekarang. Untuk lebih jelasnya menganai konsep atau pemikiaran Az-Zarnuji tentang pendidikan tersebut akan di jelaskan sebagai berikut :

1. Pengklasifikasian Ilmu

Sesuai dengan hadis Nabi SAW yang mengatakan bahwa ”Menuntut ilmu itu wajib hukumnya bagi setiap muslim dan muslimah” maka secara garis besar syekh Az-Zarnuji menganjurkan agar kiranya setiap individu selalu dan senantiasa menuntut ilmu tanpa terkecuali, akan tetapi walaupun demikian Az-Zarnuji secara garis besar mengklasifikasikan hukum mempelajari ilmu tersebut, sehingga dalam hal ini ada 2 penjelasan Az-Zarnuji tentang persolan ini, dan tentunya hal tersebut di lihatnya dalam berbagai aspek.

Pertama, ilmu yang sifatnya fardu ‘Ain, yaitu ilmu-ilmu yang setiap muslim-muslimah secara individu wajib mempelajarinya dan menguasainya, dan tidak dapat diperwakilkan oleh siapa pun juga kecuali dirinya sendiri, dalam kaitannya dengan hal ini maka barang siapa yang tidak mengerjakanya atau mempelajarinya berarti telah berdosa pada sang pencipta tuhan yang maha esa. Ilmu-ilmu yang dianggap fardu ‘Ain tersebut oleh Az-Zarnuji adalah seperti Ilmu fiqh dan ilmu ushul (dasar-dasar agama). Atau dengan kata lain seluruh yang ada hubungannya dengan ihwal manusia dan kewajiban-kewajiban dalam kesehariannya maka wajib hukumnya mempelajarinya, mislanya, sholat, teori-teori bekerja dan bermasyarakat dan lain sebagainya. Sebagaimana dikatakan bahwa ilmu yang lebih utama adalah ilmu yang akan di amlkan.

Kedua, ilmu yang sifatnya fardu kifayah, yaitu ilmu-ilmu yang stiap Islam tidak di wajibkan secara individu, jika suda ada seseorang yang mempelajarinya berarti kewajiban bagi muslim dan muslimah yang lain telah gugur, akan tetapi jika tidak ada yang mempelajarinya atau menguasainya berarti seluruh muslimin dan muslimah dalam wilayah (komunitas) tersebut telah melalaikan kewajiban. Ilmu-ilmu tersebut diantaranya adalah ilmu pengobatan, ilmu astronomni dan Georafis dan sebagainya.

2. Tujuan dan niat belajar

Mengenai tujuan dan niat belajar, maka hal itu adalah wajib pada masa-masa menuntut ilmu, kerena merupakan dasar pokok dalam segala hal, berdasarkan sabda Nabi “ Sesunggunya amal itu hanyalah dengan niat, dan seseorang mendapat pahala tergantung dari niatnya’. (hadist shahih) disamping itu juga Rasulullah pernah menyinggung bahwa di dunia ini banyak amal yang wujudnya menyerupai amal dunia tetapi sebenarnya merupakan amal akhirat karena bagusnya niat, begitu juga sebaliknya ada amal akhirat tapi jadinya amal dunia semata karena jeleknya niat. Maka Az-Zarnuji beranggapan bahwa niat yang benar dalam belajar adalah apa yang di tujunjukkan untuk mencari keridhoaan Allah SWT, memperoleh kebahagiaan dunia akhirat, berusaha memerangi kebodohan pada diri sendiri dan orang lain, mengembangkan dan melestarikan ajaran Islam serta mensukuri nikmat Allah SWT.

Lebih tegasnya di ungkapkan bahwa agar setiap orang yang hendak mencari ilmu atau menuntut ilmu jangan sampai keliru dalam menentukan niat dalam belajar, misalnya belajar yang diniatkan untuk mencari pengaruh, popularitas, mendapatkan kebahagiaan dunia atau kehormatan serta kedudukan tertntu, dan sebagainya. Tetapi bukan berarti bahwa manusia itu tidak beloh mengejar kenikmatan yang sifatnya duniawi.

3. Memilih ilmu, guru dan teman dalam belajar

Az-Zarnuji menegaskan bahwa bagi seseorag yang menuntut ilmu hendaknya memilih ilmu yang lebih baik dan ilmu yang sedang dibutuhkan dalam urusan agama dan dibutuhkan di masa-masa akan datang.

Adapun dalam hal pemilihan seorang guru sebagai pembimbing kita, maka sebaiknya memilih orang yang lebih alim (pandai),wara (menjaga harga diri) dan lebih tua.

Disamping itu juga bahwa sebagai penuntut ilmu (peserta didik) hendaknya selalu tabah dan sabar pada sorang guru dan satu kitab, sehingga tidak akan meninggalkannya agar dapat berhasil dengan sempurna serta tidak beralih dari bidang ke bidang yang lainnya sebelum benar-benar memahaminya.

Adapun dalam persoalan memilih teman, karena teman juga sangat memberikan efek pada kehidupan penuntut ilmu (peserta didik), maka pilihlah sorang yang rajin, wira’i (memelihara diri dari yang haram), bertabiat benar, dan saling pengertian, jauhilah teman yang malas, banyak bicara, perusak dan tukang fitnah.

4. Memuliakan ilmu

Penuntut ilmu tidak akan dapat merih ilmu dan memanfaatkan ilmuanya kecuali dengan menghormati ilmu itu sendiri, dan salah satu cara untuk menghormati ilmu tersebut adalah menghormati para guru (yang mengajarkan ilmu), dan termasuk cara menghormati guru menurut Imam Az-zarnuji adalah tidak berjalan di depannya, tidak menduduki tempat duduknya, tidak mendahului pembicaraan gurunya, tanpa seizinnya, tidak bertanya suatu yang membosankannnya, tidak banyak bicara di depan guruya, harus mejaga waktu dan tidak mengetuk-ngetuk pintunya, tetapi bersabarlah hingga ia keluar, kesimpulannya bahwa seorang murid harus berusaha mendapat ridhohnya, menghindari kemurkaanya dan patuh kepadanya selain dalam perbuatan maksiat kepada Allah SWT.[5]

Lebih fundamentalis lagi di katakan ooleh Az- Zarnuji bahwa menghormati guru salah satunya juag menghormati anak-naknya dan orang yang mempunyai hubungan dengannya.

5. Tekun, kontinuitas dan minat dalam belajar

Dalam pencarian ilmu menurut Az-Zarnuji bahwa haruslah bersungguh-sungguh, kontinu dan tidak kenal berhenti dalam belajar, karena dengan bersungguh-sungguh akan dapat mendekatkan segala perkara yang jauh dan dapat membukakan segala pintu yang tertutup, menuntut ilmu memang harus melalui yang namanya susah, harta benda saja tidak akan didapatkan tanpa susah payah apalagi dalam hal ini ilmu yang tentunya sangat jauh mulianya dibanding dengan harta.

Rutin dalam belajar juga sangat membantu dalam pencapain kesuksesan dalam ilmu, karena hanya dengan rutin ilmu tesebut akan tertanam dan berkembang. Disamping juga bahwa peserta didik tidak boleh memaksakan diri dalam belajar, atau dengan kata lain harus sesuai dengan minatnya sendiri, sehingga penyerapan pelajaran pun akan mudah terjadi.

6. Ukuran dan tata tertib belajar

Adapun ukuran belajar yang di kemukakan oleh Az-Zarnuji yaitu pada tahap awal atau dasar, yaitu sesuatu yang kira-kira dapat dikuasai dengan mengulangnginya dua kali, atau dengan kata lain bahwa materi pelajaran yang disodorkan pada peserta didik haruslah yang mendasar terlebih dahulu sebelum melangkah ke persolan yang lebih rumit sehingga pemahaman perserta didik terstruktur.

Cara belajar yang ditekankan oleh Az-Zarnuji yaitu hapalan sebagaimana orang-orang-orang dahulu yang mengandalkan hapalan sekaligus memahami hapalan tersebut. Dalam hal penerimaan materi pelajaran tidak dibenarkan peserta didik menulis sesuatu pelajaran yang mana ia tidak memahaminya karena hal itu hanyalah perkara buang-buang waktu saja, menghilangkan kecerdasan dan mengakibatkan tumpul otak.[6] Dengan demikian maka Az-Zarnuji menyarankan agar kiranya peseta didik itu serius menerima keterangan para guru hingga benar-benar paham, karena faham itu lebih baik darpada hapalan yang banyak.

Disamping itu juga bahwa setiap penuntut ilmu (peserta didik) agar selalu membawa alat-alat pelajaran (buku dan pena misalnya). Karena hal itu sangat membantu dalam pencapaian tujuan yang ingin dicapainya.

Selain metode pengulangan terhadap materi pelajaran agar kiranya paham, dianjurkan juga bahwa setiap penuntut ilmu itu saling berdialog dan berdiskusi serta bertukar fikiran dengan teman-temannya, atau dengan istilah lain ”munazarah’. Sebenarnya faedahnya munazarah itu lebih besar dari faedahnya yang semata-mata mengulang-ulang,[7] bahkan munazarah satu jam lebih baik dari mengulang-ulang satu bulan. Namun dalam perdebatan diskusi (istilah yang digunakan pemakalah) tersebut sebaiknya saling menghormati pandapat yang lain, dengan ketenangan hati, ikhlas dan berfikiran jernih serta tidak emosional. Berdiskusi adalah untuk memecahkan topik yang akan mewujudkan interpretasi dan menghasilkan konklusi yang benar, maka haruslah dilakukan dengan kejernihan berfikir dan ketenangan hati serta saling menghormati, dan juga bahwa tidak di benarkan berdiskusi memaksakan kehendak dan menjatuhkan orang lain serta berbicara berbelit-belit yang tanpa arah, diskusi yang benar hanyalah untuk mencari kebenaran.[8]

Penuntut ilmu itu baru boleh pindah ke bidang yang lain setelah menguasainya atau apa bila sudah merasa jenuh dengan suatu ilmu tersebut. Pendapat ini bahhkan semua pemikir pendidikan klasik sepakat dengan hal ini, karena itulah satu-satunya jalan untuk menghafal ilmu itu dengan sebaik-biknya, kalau dipercampurkan dengan ilmu lain yang lain, maka akan bersimpang siur hati pelajar untuk memikirkannya. Akhirnya pelajar itu tidak mendapatkan hasil yang memuaskan dari ilmu yang dipelajarinya, tetapi kalau pelajar memusatkan perhatiannya terhadap satu ilmu aja, maka akan mendapat hasil yang baik.

Akan tetapi pendapat ini kalau di kaji dalam konsep ke kinian maka akan didapati ketidak efektifan konsep tersebut, namun tentunya dalam hal ini masih relatif keabsahannya. Pakar pendidikan sekarang beranggapan bahwa mempelajari satu macam ilmu saja terus menerus siang dan malam akan membosankan hati murid-murid, makanya perlu ada pelajaran yang lain-lain, hal itu lebih menarik perhatian murid-murid (peserta didik).

7. Waktu belajara

Sebagaimana disinyalir hadis Nabi bahwa belajar itu tidak ada putusnya mulai dari ayunan sampai kepada liang lahat, adapun waktu yang lebih uatama dalam menuntut ilmu dan akan berhasil adalah masa permulaan remaja (ketika masih kecil), atau dalam keseharian yaitu pada waktu sahur dan antara magrib dan Isya.

8. Bersikap wara (Wira’i) di waktu belajar

Az-Zarnuji menganjurkan bahwa sekiranya bagi stiap penuntut ilmu itu bersikap wira’i, karena hanya dengan sikap wira’i ilmunya akan berguna, belajar menjadi mudah dan mendapatkan pengetahuan yang banyak, lebih tegasnyanya lagi di jelaskan bahwa diantara sikap wira’i tersebut yaitu menjauhkan diri dari golongan yang berbuat maksiat dan kerusakan, perut tidak terlalu kenyang, tidak banyak tidur dan tidak banyak bicara yang tidak ada gunanya, bahkan karena hati-hatinya Az-Zarnuji menganjurkan agar senantiasa menghindari dari makanan dari pasar, karena makanan pasar dikhwatirkan najis dan kotor.

E. Analisis Konsep Pendidikan Syekh Az-Zarnuji

Untuk lebih jelasnya mengenai konsep pendidikan Syekh Az-Zarnuji analisa berikut mungkin akan memperjelas pemahaman kita semua selama ini. aspek-aspek yang dianalisa dalam persoalan ini yaitu :

a. Aspek metode

Metode yang dikemukan oleh Az-Zarnuji dalam dunia pendidikan, dianalisa bahwa setidaknya ada 2 (dua) metode yang diperguanakan, yaitu pertama metode yang bersifat etik, dan kedua metode bersifat strategi. Metode yang sifatnya etik antara lain mencakup niat dalam belajar, sedangkan metode yang sifatnya tehnik strategi mencakup cara memilih pelajaran, memilih guru, memilih teman dan langkah-langkah dalam belajar.

b. Aspek guru

Ketika berbicara tentang aspek guru terlebih dahulu kita akan membicarakan tentang difinisi guru dalam pandangan Islam sama dengan teori barat, pendidik dalam Islam ialah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik. Dalam Islam, orang yang paling bertanggung jawab tersebut adalah orang tua ( ayah dan ibu ) anak didik.[9]

Dalam hal menaksir peranan siterdidik banyak pandangan-pandangan, malah ada yang sangat ekstrim. Ada golongan guru atau pendidik yang terlalu menaksir rendah peranan dan ada pula yang menaksir terlalu tinggi. Mereka yang menaksir rendah menganggap bahwa sianak sama sekali tergantung “ nasibnya” kepada si pendidik. Mereka yang selalu menonjolkan diri sebagai pihak, “Penolong” atas segala-galanya terhadap anak.[10]

Syekh Az-Zarnuji membahas tentang guru memberikan tiga kualifikasi dasar seorang guru yaitu menguasai materi (pandai atau alim), memiliki keperibadian yang luhur (wara/menjaga harga diri), dan penuh kasih sayang ( Loving ) dalam mengajar dan mendidik. Misi utama guru adalah mencerdaskan bangsa ( bukan sebaliknya membodohkan masyarakat), mempersiapkan anak didik sebagai individu yang bertanggung jawab dan mandiri, bukan menjadikannya manja dan beban masyarakat.[11]

c. Aspek murid

Dalam karangan Az-Zarnuji Ta’limul Muta’allim bisa di kalsifikasikan bahwa ada enam hal persyaratan bagi murid yakni, modal, semangat, waktu yang memadai, petunjuk guru, keuletan, ( Kesabaran ) dan kecerdasan.

F. Relevansi Konsep Pendidikan Az-Zarnuji Terhadap Pendidikan Kontemporer.

Berangkat dari pemikiran Konsep Pendidikan Az-Zarnuji kami akan mencoba menganalis relevansi terhadap pendidikan kontemporer sekarang ini.

Dari beberapa aspek diatas kami akan memberikan relevansinya terhadap pendidikan kontemporer pada saat-saat ini, seperti aspek guru, mereka memberikan sebuah pendapat bahwa guru paling tidak harus memiliki tiga kualifikasi dasar, yaitu menguasi materi, memiliki keperibadian yang luhur, dan penuh kasih sayang. Dengan demikian , ucapan , cara bersikap , dan tingkah laku seorang guru ditujukan agar seorang siswa bisa menjadi insan kamil, yakni sempurna dalam kecamata peradaban manusia dan sempurna dalam standar agama. Pandangan yang telah diterangkan Az-Zarnuji ini sangat relevan sekali jika diterapkan pada masa saat- saat ini. Karena guru diibaratkan sebagai ganti dari orang tua di dalam pencapaian dunia pendidikan.

Selanjutnya mengenai aspek metode, Az-Zarnuji memberikan metode yang sifatnya tehnik strategi mencakup cara memilih pelajaran, memilih guru, memilih teman dan langkah-langkah dalam belajar. Yang mungkin selama ini diabaikan dalam dunia pendidikan, harus diperkenalkan kembali. Dari pendapat ini kita aplikasikan terhadap pendidikan pada masa sekarang ini sangat relevan sekali.

Mengenai Aspek murid ada enam syarat bagi murid atau penuntut ilmu, yakni modal, semangat, waktu yang memadai, petunjuk guru, keuletan, (kesabaran) dan kecerdasan. Syarat-syarat ini sangat relevan sekali jika di miliki oleh seorang murid atau penuntut ilmu. Bahkan konsep ini juga di lembagakan oleh barat sehingga baratlah yang memetik hasilnya. Tidak mengherankan jika awal abad ini buku Ta’limul Muta’allim banyak di diterjemah ke dalam bahasa inggris.

G. Penutup

Demikianlah makalah ini kami buat, tentunya masih banyak kekurangan di dalamnya, karena kami sebagai manusia yang tidak luput dari sifat kekurangan dan kelebihan, oleh karena itu kami membutuhkan kritikan yang konstruktif dari pembaca.

H. Daftar Pustaka

Az-Zarnuji, Syekh, Terjemahan Ta’lim Muta’alim, Bandung: Husaini

Marimbah, Ahmad, D. Drs., 1989, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung, Al-Ma’arif

Mas’ud, Abdurrahman. M.A., Ph. D., 2002, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik(Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam),Yogyakarta: Gema Media

Nata, Abudin. Dr. H. MA., 2000, Pemikiran Para tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Grafindo Persada

Tafsir, Ahmad. Dr., 1994, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya

Yunus, Muhammad. Prof. DR. H., 1990, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT.Hidakarya Agung

Zuharini, 1992, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara



[1] Mahasiswa Jurusan Tarbiyah STAIN Samarinda Semester VI Angkatan 2004

[2] Dr. H. Abudin Nata. MA, Pemikiran Para tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2000), h. 103-104

[3] Zuharini, Sejarah Pendidikan Islam, (Cet. III, Jakarta: Bumi Aksara,1992), h. 7

[4] Dr. H. Abudin Nata, MA., Op.cit. h. 105-106

[5] Syekh Az-Zarnuji, Terjemahan Ta’lim Muta’alim, (Bandung: Husaini), h.33

[6] Prof. DR. H. Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (cet VI, Jakarta: PT.Hidakarya Agung, 1990), h138

[7] Prof. DR. H. Muhammad Yunus, Ibid., h. 139

[8] Seykh Az-Zarnuji, Op.cit., h. 64

[9] Dr. Ahmad Tafsir , Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Cet. II , Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hal. 74

[10] Drs. Ahmad, D. Marimbah, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Al-Ma’arif, Bandung, Cet. VIII, 1989, hal. 34.

[11] Abdurrahman Mas’ud, M.A., Ph. D., Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, ( Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam ), (Yogyakarta: Gema Media, 2002) h. 194.

Minggu, 06 Januari 2008

IJTIHAD, ITTIBA, TAQLID, TALFIQ

IJTIHAD, ITTIBA, TAQLID, TALFIQ

Ansur Arsyad[1]

A. PENDAHULUAN

Melihat persoalan semakin ruwet dan semakin susah mencari penyelesaian dengan nas-nas maka menjadi landasan utama kenapa aktivitas ijtihad di dalam Islam tidak boleh berhenti. Ijtihad adalah ruh yang menghidupi Islam secara terus-menerus. Tanpa ijtihad, seperti telah diteladankan Umar ibn Khattab dan lain-lainnya, Islam sudah semenjak lama menjadi benda hampa dan hiasan kuno yang hanya layak menjadi tontonan, bukan tuntunan. Untung saja para ulama aktif memeras akal budi dan berijtihad untuk mengatasi problem-problem zamannya.

Nabi Muhammad SAW sendiri sesungguhnya adalah seorang mujtahid ulung. Di tangan Nabi, Alquran menjadi lompatan dan pegangan memecahkan sejumlah kebuntuan sosial, politik, bahkan ekonomi. Nabi menjadikan Alquran terlibat dalam proses perubahan sosial, sehingga ia bukan sebagai kitab suci yang melangit tanpa bersentuhan dengan bumi.

Kini, ijtihad semakin niscaya, terutama di tengah problem kemanusiaan yang semakin kompleks. Problem kehidupan yang sedemikian struktural dan sistemik, tentu butuh ijtihad dosis tinggi dari para ulama. Kondisi ini tidak bisa dipasrahkan pemecahannya pada model lama seperti yang terbaca dalam sejarah. Ideologi keislaman konservatif yang terus merujuk ke model masa lalu, bukan saja menunjukkan watak tidak kreatif, melainkan juga tidak realistis. Tafsir-tafsir keagamaan klasik yang kerap di idealisasi sedemikian rupa bukanlah pemecahan yang arif. Tantangan kehidupan masa kini tidak akan persis sama dengan kehidupan abad pertengahan. Siapapun tahu, kekinian jauh lebih rumit dan dinamis ketimbang kesilaman.

Islam seharusnya dikembalikan ke posisi awalnya sebagai agama membebaskan, mencerahkan. Islam diharapkan cukup liberatif untuk mengatasi ketertindasan dan keterbelakangan. Islam mesti dibersihkan dari beban-beban sejarah masa lalu yang kelam. Agama yang telah mengalami manipulasi oleh elite sehingga tampak kacau, mesti dipulihkan kembali dengan (salah satunya) menyemarakkan aktivitas ijtihad. Ijtihad adalah cara untuk mengembangkan rasionalisme dalam Islam.

Namun tetap perlu disadari bahwa berijtihad adalah sebuah kesepian, karena setiap ijtihad yang baik hampir selalu mewujud menjadi pembangkangan dan penyangkalan atas klise pemikiran. Ijtihad adalah kerja untuk menembus kawasan yang tak terpikirkan. Karena itu tak heran bila banyak intelektual yang handal dan tidak berani ambil resiko dengan ijtihad. Seseorang yang punya kecakapan teknis dan kepandaian metodologis pun tetap memerlukan nyali dan stamina untuk berijtihad. Ia setiap saat harus siap ditolak bahkan diekskomunikasi kalau hasil ijtihadnya dianggap menyalahi pendapat jumhur.

Dengan jalan ijtihad sebagai suatu cara mengimplementasi hukum Islam, mutlak harus ada, namuan catatan yang patut diketahui bahwa pengambilah hukum secara ijtihad tidak mudah, ada kriteria-kriteria tertentu yang harus dipenuhi sehingga baru bisa di sebut sebagai mujtahid, jika syarat ijtihad tidak terpenuhi maka cara pemecahan hukum yang dilakukan adalah dengan Ittiba yaitu mengikuti para mujtahid akan tetapi paham akan konsep dan landasan yang dipakai oleh mujtahid yang ia ikuti dalam pengembilan hukum tersebut dan orang yang berittiba di sebut Mutaabi. Jika ia tidak paham maka proses pengambilan hukumnya disebut Taqlid dan orang melakukan taqlid disebut muqallid, dan pada posisi terendah dalam pengambilah hukum disebut Talfiq yaitu mengambil hukum dari berbagai mashab-mashab atau faham-faham dan di jadikan satu dalam mengambilan hukum.

Dengan demikian bagaimana konsep pengambilan hukum dalam islam seperti yang telah disinggung diatas, maka bab selanjutnya dalam tulisan ini akan dipaparkan secara jelas.

B. IJTIHAD

1. Pengertian Ijtihad

Ijtihad menurut Arti asalnya adalah "bersungguh-sungguh". Atau "pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan  sesuatu yang sulit ." Atas dasar ini maka tidak  tepat  apabila  kata  "ijtihad"  dipergunakan   untuk melakukan sesuatu yang mudah/ ringan.

Sedangkan berdasarkan makna Terminlogi, para ulama ushul memandang bahwa ijtihad adalah pengerahan segenap kesungguhan dan kamantapan yang dimiliki seseorang ahli fiqh untuk menghasikan keyakinan tentang suatu hokum [2] sedangkan definisi lain dari ijtihad yaitu mencurahkan segenap usaha untuk sampai kepada hukum syar’a dari dalil tafsili yang termasuk dalil syar’i.[3]

Menurut Hasbi Ash Shaddiqi Ijtihad adalah menggunakan segala kesanggupan untuk mencari suatu hukum syara’ dengan jalan Zan. [4]

Sedangkan Al-Dahlawi menjelaskan ijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk mengetahui hukum-hukum syariat dari dalil-dalilnya yang terperinci, yang secara global kembali keempat macam dalil yaitu Kitab, Sunnah, Ijma' dan Qiyas.

Dan Imam Khomeini mengatakan juga Ijtihad adalah keahlian atau kemampuan yang dengannya dia dapat menarik kesimpulan hukum dari dalil-dalil.

Dari keterangan di atas bahwa ijtihad bukan perbuatan yang dilakukan sekedar membuka-buka kitab tafsir atau hadis lalu dengan mudah ditarik sebuah kesimpulan hukum. Sebaliknya, dalam ijtihad dibutuhkan kesungguhan dan keseriusan dengan mencurahkan segenap kemampuan dan usaha untuk mendapatkan hukum-hukum syariat. Hal ini menunjukkan bahwa maslah ijtihad bukan perkara yang mudah, tetapi ijtihad juga harus diupayakan pada setiap generasi, agar ajaran Islam tetap dinamis, tidak stagnan dan siap memberikan solusi atas segala problematika kontemporer.

2. Dasar Hukum Ijtihad

Para fuqaha boleh melakukan ijtihad apabila dalam suatu masalah tidak ada dasar hukum yang terdapat dalam nas. Kebolehan ini di isyaratkan antara lain (Q.S. Al-Baqarah: 149)

ô`ÏBur ß]øym |Mô_tyz ÉeAuqsù y7ygô_ur tôÜx© ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$#

Artinya :Dan dari mana saja kamu keluar (datang), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa orang yang berada jauh dari masjidil haram, apabila akan shalat, dapat mencari dan menentukan arah itu melalui ijtihad dengan mencurahkan akal pikirannya berdasarkan indikasi atau tanda-tanda yang ada.

Secara kodrati manusia mempunyai badan jasmani dan rohani. Badan rohani berfungsi untuk memhami apa yang dilihat oleh manusia dan dialami oleh akal pikiran sekaligus berfungsi untuk memahami segala sesuatu yang ada dialam raya ini. Walaupun tidak ada petunjuk dari agama, maka dengan akal itu manusia dapat memperoleh kebahagiaan hidup dan dapat berusaha menghindari bahaya.

Hadis lain juga yang mendukung akan persolan ini yaitu hadis nabi yang ketika mengutus Muadz bin Jabal menjadi Guburnur di Yaman, hadis ini tidak asing lagi bagi kita semua, “ Ketika itu Muads ditanya oleh Rasulullah : dengan apa engkau menentukan hukum, Muazd menjawab dengan kitab Allah, jawab Muadz, Rasulullah bertanya lagi kalau engakau tidak mendapat keterangan dari Al-Qur’an, Muadz menjawab saya mengambilnya dari sunnah Rasul, Rasulullah berkata lagi, kalau engakau tidak mendapi dari keterangan sunah Rasululah SAW, Muadz menjawab saya akan berijtihad dengan akal saya dan tidak akan berputus asa, Rasulullah menepuk Muadz bin Jabal menandakan persetujuannya.

Nabi sendiri memberikan kelonggaran dalam persolan agama, dengan cara ijtihad bahkan Nabi membrikan dorongan kepad mereka, jika ijtihad itu mengenai sasaran, maka orang yang berijtihad mendapat dua kebaikan dan apabila tidak, dia mendapat satu kebaikan.

Berdasarkan uraian tersebut maka para ulama membagi hukum ijtihad dalam tiga macam yaitu :

a. Wajib Ain, bagi seeorang yang ditanya tentang suatu peristiwa yang hilang sebelum diketahui hukumnya, begitupula apabila peristiwa tersebut dia alami sendiri oleh seseorang dan ia ingin mengetahui hukumnya.

b. Wajib kifayah, bagi seseorang yang diatanya tentang suatu peristiwa yang tidak dikhawatirkan aka hilang smentara masih ada mujtahid lain selain darinya.

c. Sunnah, yaitu ijtihad terhadap suatu peristiwa yang belum terjadi, baik di tanyakan maupun tidak.[5]

Dengan demikian garis besar yang dapat ditarik dari keterangan tersebut adalah bahwa Ijtihad dan berijtihad hukumnya wajib bagi yang telah menenuhi kreteria-keriteria.

3. Macam-macam Ijtihad

Secara garis besar ijtihad dibagi dalam 2 bagian yaitu ijtihad fardi dan jami’i.

a. Ijtihad Fardi

Setiap ijtihad yang dilakukan oleh seorang / beberapa orang, tak ada keterangan bahwa seluruh mujtahid yang lain yang menyetujuinya, dinamakan ijtihad fardi. Itulah ijtihad yang dibenarkan rasul kepada Mu’adz dan itulah ijtihad yang ditekankan Umar kepada Abu Musa Al-Asy’ari kepada Syuraih. Umar mengatakan kepada Syuraih :

و ما لم يتبين لك فى ا لمسنة فا جتهد فيه ر ا يك.

Artinya :

“Dan apa yang tidak nyata kepada engkau, dalam as sunah, maka berijtihad dengan mempergunakan daya fikir engkau”.

b. Ijtihad Jama’i

Ijtihad terhadap sesuatu masalah ysang disepakati oleh semua mujtahid,[6] itulah yang di katakan ijtihad jama’i.

“Semua ijtihad dalam suatu perkara yang di sepakati oleh semua mujtahid”

Dalam kaitan ini Umar pun mengataklan kepada Syuraikh : Yang artinya : “Dan bermusyawarahlah (tanya pendapat) orang-orang berilmu dan orang-orang saleh.”

Diriwayatkan oleh Muhaimin bin Mihram bahwasanya Abu Bakar dan Umar apabila menghadapi sesuatu hal yang tidak ada hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, beliau mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat dan menanyakan pendapat mereka. Maka apabila mereka sepakat terhadap suatu pendapat, beliaupun memutuskan hal itu dengan pendapat tersebut. Maka hal itulah yang dikatakan ijtihad Jama’i.

3. Objek Ijtihad

Kaidah yang harus dipegang dengan seerat-eratnya oleh mujtahid ialah apabila suatu nash syar’i lagi qoth’i wurudnya dan dalalahnya, tak ada tempat melakukan ijtihad. Wajib diterapkan menurut keadannya, karena dia qoth’i wurudnya dan dalalahnya. Di antara ayat-ayat yang demikian, ialah ayat hukum yang mufassir dan ayat-ayat yang muhkam, seperti firman allah SWT, yang artinya :

“Wanita penzina dan laki-laki penzina, maka cambuklah masing-masingnya seratus kali”.

Tidak ada tempat berijtihad lagi tentang hukum menyiksa penzina dengan cambukan dan bilangan kali cambukan. Demikian pula tak ada ijtihad pada hukum-hukum siksa yang sudah diberi batas. Demikian pula sunah-sunah yang sudah mutawatir.

Adapun apabila nash itu dhanni wurudnya/ dalalahnya, maka itu yang menjadi objek ijtihad. Para mujtahid membahas kejadian yang tidak ada nashnya agar sampai pada pengetahuan hukum dari jalan qiyas atau istihsan atau istisbah atau ‘uruf atau masalah mursalah dan sebagainya. Al-Gazali menyatakan bahwa akal manusia hanya dapat menetapkan hukum mengenai kasus yang secara eksplisit tidak terdapat dalam wahyu.[7]

4. Kedudukan Ijtihad

Dalam sejarah pemikiran islam, Ijtihad telah banyak digunakan. Ajaran Al-Qur’an dan hadis memang menghendaki digunakannya ijtihad, dari ayat Al-Qur’an yang jumlahnya lebih kurang 500 ayat. Menurut perkiraan ulama yang berhubungan dengan akidah, ibadah, muamalah. Ayat-ayat tersebut, pada umumnya terbentuk teks-teks dasar tanpa menjelaskan lebih lanjut mengenai maksud, rincian, cara pelaksanaannya. Untuk itu ayat tersebut perlu dijelaskan oleh orang-orang yang mengetahui Al-Qur’an dan hadits yaitu para sahabat Nabi dan kemudian para ulama penjelasan oleh para sahabat dan para ulama tersebut diberikan melalui ijtihad. Jadi kedudukan ijtihad adalah sumber ke 3 sesudah al-Qur’an dan Hadits.

5. Fungsi Ijtihad

Telah diterangkan bahwa fiqih itu adalah segala hukum yang dipetik dari kitabullah dan sunah Rasul, dengan mempergunakan ijtihad maka menjadi pentinglah bagi kita membahas apakah fungsi ijtihad itu.

Oleh karena syariat islam itu adalah syariat yang berdasarkan illahi, dipetik dari dasar-dasar yang sudah terkenal, baik yang dinukilkan dari Nabi seperti Al-Qur’an dan As-Sunah, ataupun yang diwujudkan oleh akal seperti : Ijma’, qiyas, Istihsan, dan lain-lain. Kemudian menjadilah ijtihad itu sebagai jalan yang kita lalui untuk mengistimbatkan hukum dari dalil-dalil itu dan jalan yang harus kita lalui untuk menentukan batasan yang dikehendaki oleh kebutuhan masyarakat.

Inilah sebabnya fungsi ijtihad itu menjadi penggerak yang sangat diperlukan, dalam sejarah perkembangan hukum syara’ yang menimpa masyarakat yang tidak diketemukan hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Salah seorang pemikir kontemporer Islam (Muhammad Iqbal) menyatakan bahwa Ijtihad merupakan “The Princple of Movement” daya gerak kemajuan Islam, dengan kata lain ijtihad merupakan kunci dinamika ajaran Islam.[8]

6. Syarat-Syarat Berijtihad

Al Ghazali berpendapat seorang mujtahid harus memiliki dua syarat, pertama, hendaknya dia menguasai sumber-sumber syariat (kitab, sunnah, ijma' dan aqal). Kedua, hendaknya dia seorang yang adil dan menghindari kemaksiatan-kemaksiatan yang menggugurkan keadilan. Syarat kedua ini adalah syarat diterimanya fatwa si mujtahid, bukan syarat menjadi seorang mujtahid. Untuk lebih detailnya syarat-syarat ijtihad adalah sebagai berikut:

1. Menguasai bahasa arab dengan bagian-bagiannya, seperti tata bahasa arab (nahwu shorf), Balaghah (ma'ani, bayan dan badi') serta tradisi dan percakapan orang-orang arab, syarat ini diperlukan karena Al Qur an dan Hadist diucapkan dan ditulis dalam bahasa arab yang sangat tinggi dan indah.

2. Mengetahui asbabun nuzul ayat-ayat Al Qur an

3. Mengetahui ilmu mantiq (logika) sesuai yang dibutuhkan untuk memahami Al Qur an dan sunnah.

4. Mengetahui ilmu ushul fiqh (dasar-dasar hukum syariat). Ilmu ini membahas tentang apa saja yang harus diketahui atau dikuasai seorang mujtahid sebelum mengambil hukum dari Al Qur an dan sunnah, yang mencakup masalah umum, khusus, nasikh, mansukh, mutlaq. Dan juga bagaimana menangkap perintah Allah, apakah perintah itu wajib, atau tidak, dan larangan mengandung arti haram atau tidak.

5. Mengetahui ilmu rijal, yaitu yang membahas tentang biografi para perawi hadist. Yang menjadi fokusnya adalah mencari tahu tentang kejujuran dan ketakwaan para perawi hadist, karena hal ini berkaitan erat dengan kedudukan sebuah hadist, apakah shahih, hasan, dahaif dll.

6. Menguasai Ulum ul Hadist atau musthalahul hadist. Ucapan, perbuatan dan persetujuan (sunnah) Nabi SAW telah dicatat dalam beberapa kitab hadist dan jumlahnya mencapai ribuan.

7. Menguasai tafsir dan maksud-maksud Al Qur an.[9]

Penguasaan prinsip-prinsip di atas adalah mutlak sifatnya, artinya tanpa penguasaan prinsip-prinsip itu tidak mungkin seseorang dapat mengambil hukum langsung dari Al Quran dan sunnah. Dalam dunia Syi'ah Ijtihad adalah fardu Kifayah, dan untuk menjadi Mujtahid seseorang diharuskan belajar melalui tahapan-tahapan tertentu, dan pada setiap tahapan harus mempelajari beberapa kitab ushul fiqh dengan baik dari yang paling sederhana sampai yang paling pelik.

7. Tingkatan-tingkatan Ijtihad

Sebagaiman yang dikatakan oleh Allamah Abdullah Darraz : “Ijtihad itu adalah mengeluarkan seluruh kemampuan dan memberikan segala kekuatan serta pikiran. Hal itu dilaksanakan adakala memperoleh hukum syari, adakala membuat penetapan yakni : menetapkan hukum atas tiap-tiap yang harus melaksanakannya seperti menetapkan kaidah segala yang dilarang, boleh terhadap segala perbuatan yang tidak dilarang syara’ kita mengerjakannya “ijtihad” untuk memperoleh hukum, yang hanya dapat dilaksanakan oleh ulama-ulama yang mempunyai keahlian sempurna untuk berijthad. Ijtihad menetapkan hukum seluruh orang yang tinggi ilmunya, dan dapat melakukannya..

Ringkasnya jihad itu dapat dibagi menjadi 2 tingkatan, yaitu :

- Ijtihad Darakil Ahkam (menciptakan hukum yang belum ada).

- Ijtihad Tathbiqil Ahkam (menerapkan hukum atau kaidah atas segala tempat yang menerimanya).

C. ITTIBA

1. Pengertian Ittiba

Ittiba menurut bahasa adalah “mengikuti”. Definisi dari istilah ialah mengikuti pendapat seorang mujtahid dengan memahami atau mengerti, baik cara-cara maupun alasan-alasan yang menjadikan dasar mujtahid yang bersangkutan untuk mengalirkan atau menetapkan garis-garis hukum mengenai sesuatu hal tertentu.

Dalam beberapa pendapat dikatakan bahwa ittiba ialah mengikuti seseorang karena jelas dan nyata dalilnya, sah mazhabnya, bahkan di perintahkan agama.

Imam syafi’i mengemukakan bahwa ittiba berarti mengikuti pendapat-pendapat yang datang dari Nabi Muhammd SAW dan para sahabat atau yang datang dari tabi’in yang mendatangkan kebajikan.

Orang yang melakukan ittiba di sebut mutaabi, bila seseorang tidak sanggup berijtihad maka boleh berittiba kepada para mujtahid.

2. Hukum Berittiba

Untuk mengetahi akan boleh tidaknya berittiba maka berikut pengklasifikasian ittiba itu sendiri.

a. Ittiba kepadaAllah dan Rasulnya

b. Ittiba kepada selain Allah dan Rasulnya

Ittiba kepada Allah dan rasulnya adalah wajib sesuai dengan firman Allah SWT. Dalam suarah Al-a’raf : 3

(#qãèÎ7®?$# !$tB tAÌRé& Nä3øŠs9Î) `ÏiB óOä3În/§ Ÿwur (#qãèÎ7­Fs? `ÏB ÿ¾ÏmÏRrߊ uä!$uÏ9÷rr& 3 WxÎ=s% $¨B tbr㍩.xs?

Artinya:

Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).

Akan tetapi berebicara tentang bagaimana berittiba kepada selain Allah dan rasulnya atau dengan kata lain berittiba kepada ulama, maka hal ini memunculkan berbagai perbedaan ada yang memboleh kan dan ada yang tidak membolehkan. Imam Ahmad bin Hambal sebagai salah seorang yang menolak ittiba kepada selain Allah dan Rasulnya, sedangkan pendapat yang lain membolehkannya karena mengaggap bahwa ulama adalah penerus Nabi (Warasatul Anbiya).[10]

Dengan demikian maka Ittiba menjadi salah satu perbuatan yang uatama, dan mejadi keharusan bagi kita yang tidak sanggup berijtihad, dan inilah tujuan kita sebagai orang-orang muslim senantiasa dapat memahami secara baik tujuan agama kita dan semua perbuatan-perbuatan yang ada didalamnnya

D. TAQLID

1. Pengertian dan hukum taqlid

Taqlid dalam arti harafiah adalah “meniru”, sedangkan dalam pengertian Islam berarti mengikuti seorang mujtahid dalam hukum agama. Seorang mujtahid adalah orang yang menguasai ilmu fiqh, oleh karena itu mereka sering disebut sebagai fuqaha.

Mengenai pengertian taqlid yang lain, ada beberapa ulama yang memberikan definisi antara lain :

Al-Gazaliu dan Ibnu Subhi “Mengamalkan pendapat orang yang pendapatnya bukan suatu hujjah syar’iyah tanpa ada hujjah” atau “ Menerima suatu pendapat tanpa ada hujuh”.

Al-Amidi memberikan defrnisi bahwa “Mengamalkan pendapat orang tanpa ada hujjah yang memastikan kita menerimanya, seperti orang awam menerima pendapat awam, dan seperti seorang mujtahid menerima pendapat seorang mujtahid”.

Drs Zakiyyuddin Tsaban juga memberikan defenisi “taqlid ialah menerima atau mengikuti perkataan orang lain tanpa mengetahui dari mana sumber perkataan itu”.[11]

Al-Kamal Ibn al-Hammam memberikan definisi  “Taqlid ialah beramal berdasarkan pendapat orang lain yang pendapatnya itu tidak merupakan salah satu dalil yang dibenarkan, dan ini dilakukan tanpa berdasarkan dalil”. 
Definisi menurut Al-Qaffal “Menerima pendapat orang lain dalam kondisi anda tidak mengetahui dari mana orang itu berpendapat”. 
Definisi Al-Syaukany “Beramal berdasarkan pendapat orang lain tanpa berdasarkan dalil” 

Dari defenis tersebut dapat disimpulkan bahwa taqlid ialah mengikuti orang lain tanpa mengetahui dari mana sumber pengambilannya, sehingga sangat jelas apa sesungguhnya maksud taqlid tersebut. Orang yang bertaqlid di sebut muqalid. Beberapa defenis tersebut memiliki pemaknaan yang sama hanya saja beberbeda dalam kontek teks.

Kewajiban bertaqlid adalah masalah yang berdasarkan dalil syar'i, dan secara rasional, akal juga mengharuskan orang yang tidak tahu akan hukum-hukum agama untuk merujuk kepada seorang mujtahid yang cukup syarat.

2. Pembagian taqlid menurut ketentuanya.

Dalam tarap pengimplementasiannya dalam kehidupan sehari-harai maka ada dua konsep taqlid, yaitu taklid yang dihalalkan dan taqlid yang diharamkan.

1. Taqlid yang dihalalkan

Taqlid yang di bolehkan dan bahkan menjadi keharusan adalah taqlid yang disandarkan pada para mujtahid yang handal dalam urusan tersebut, meskipun banyak mujtahid maka yang harus dijadikan sandaran adalah mujtahid yang lebih tinggi tingkat ketaatannya, ataupun bisa juga bertaqlid kepada mujtahid yang di sukai, akan tetapi dalam persolan ini tidak ada suatu riwayat yang menyatakan bahwa ada keharusan untuk memiliki satu saja sandaran.

Dalah hal ini dikaitkan dengan mazhab-mazhab tertentu, maka seseorang bisa memakai pendapat suatu mazhab dalam suatu persoloan dan bisa memakai mazhab lain dalam persoloan yang lain lagi, dengan syarat tidak mencari-cari yang mudah saja.

2. Taqlid yang dilarang

Taqlid yang dilarang antara lain :

a. Taqlid buta, yaitu memahami suatu hal dengan cara mutlak dan membabi buta tanpa memperhatikan ajaran Al-Qur’an dan hadis, misalnya menaqlid masyarak dan sebagainya.

b. Taqlid terhadap orang-orang tidak kita ketahui apakah mereka ahli atau tidak tentang hal yang kita ikuti.

c. Taqlid terhadap seseorang yang telah memperoleh hujjah dan dalil bahwa pendapat orang yang kita taqlidi itu bertentangan dengan ajaran islam yaitu Al-Qur’an dan hadis.

3. Syarat dan dalil pembolehkan Taqlid

Mengenai syarat taqlid dapat dilihat dari dua hal yaitu dari syarat orang bertaqlid dan syarat yang di taqlid.

Syarat orang yang bertaqlid yaitu orang awam atau orang biasa yang tidak mengerti cara-cara mencari hukum syara’ ia boleh mengikuti pendapt orang lain yang lebih mengetahui hukum-hukum syara dan mengamalkannya. Namun apabila orang itu pandai sanggup secara sendiri menggali hukum syara maka ia harus berijtihad.

Syarat yang ditaqlih adalah hukum yang berhubungan dengan syara. Dalam hukum akal tidak boleh bertaqlid pada orang lain, seperti mengetahui adanya Dzat yang menciptakan alam serta siafat-sifatnya.

Sedangkan dalil yang dapat dijadikan acuan dalam pentaqlidan tersebut yaitu suarah an-Nahal ayat 43.

Firman Allah SWT .

(#þqè=t«ó¡sù Ÿ@÷dr& ̍ø.Ïe%!$# bÎ) óOçGYä. Ÿw tbqçHs>÷ès? ÇÍÌÈ

Artinya, "Bertanyalah kepada ulama apabila kamu tidak mengerti." (QS. al-Nahl: 43).
4. Tingkatan Taqlid dan Perkembangan taqlid 
Sebagaimana halnya ijtihad atau mujtahid yang bertingkat-tingkat, demikian  juga  taqlid atau muqallid  yang  terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu: 
1.  Taqlid secara total/ murni (taqlid al-mahdli), seperti taqlid yang dilakukan oleh kebanyakan orang awam, dimana dalam keseluruhan hukum Islam, mereka mengikuti pendapat imam mujtahid.
2.  Taqlid dalam bidang-bidang hukum tertentu saja, seperti yang dilakukan para ulama yang mampu berijtihad dalam bidang madzhab, bidang tarjih, dan bidang fatwa. Dengan demikian dilihat dari satu segi, mereka dianggap sebagai mujtahid, tetapi dilihat dari sisi lain, mereka termasuk muqallid.
3.  Taqlid dalam hal kaidah-kaidah istinbath, seperti yang dilakukan oleh mujtahid muntasib.
Sedangkan perkembangan taqlid sendiri dalam sejarah islam terdapat setidaknya 3 priode, yaitu :
1.      Priode taqlid pertama yaitu abad kempat Hijriah samapai jatuhnya Bagdad ketangan Bangsa Tartar yaitu pertengahan abad ketujuh hujriah). Pada masa ini para ulama menegakkan fatwa imamnya dan menyeru masyarat agar bertaqlid kepada mazhab yang dianutnya, di Irak ulama mempropogandakan supaya bertaqlid pada Mazhab Imam Abu Hanafi, di Madinah dianjurkan bertaqlid pada mazhab Imam Malik, disamping kondisi seperti itu, juga lahir ulama yang menyerukan mazhab Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hambal. Pada masa ini sedikit sekali ulama yang mencurahkan ilmu pengetahuannya untuk mencari ilmu pengetahuan secara merdeka, kebanyak para ulama pada saat itu hanya sekedar menguatkan imam-imam mereka. Pada masa itulah kitab-kitab karangan imam-imam mereka dipelajari, dikaji dan diajarkan diberbagai tempat dan kota, sehingga sering terjadi perdebatan dan pertentangan bahkan bisa samapai perkelahian antara penganut mazhab yang lain. Maka dalam priode ini semboyan-semboyang sering sekali terucap seperti “ Kami  Mazhab Hanafiyah, Kami Mazhab Hambaliyah, Kami Mazhab Malikiyah, Kami Mazhab Syafi’iyah. Hal itulah yang menyebabkan umat islam mengalami perpecahan.
2.      Periode Taqlid kedua yaitu abad keempat hijriah samapi abad kesepuluh hijriah. Pada masa ini keberadan taqlid belum merata akan tetapi kondisinya semakin parah dari pada priode pertama tadi, hanya sedikit ulama yang mampu dan berani merobek tirai taqlid yang menggelapkan cahaya ijtihad itu. Diantara ulama yang mampu menggunakan daya ijtihadnya seperti Ibnu Hajar al-Asqalani, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qyyim dan sebagainya.
3.      Periode Taqlid ketiga, yaitu abad kesepuluh hijriah samapai pada zaman Muhammad Abduh, periode ini roh ijtihad telah hilang sama sekali, fatwa haram ijtihad semakin marak, bahkan taqlid pada masa itu langsung lagi kepada mutaqaddimin dan shalaf yang soleh dari mereka saja. Meskipun roh ijtihad telah mati tetapi karena Allah tidak menghendaki tersebut maka muncul lagi para ulama secara berangsur-angsur yang memulai menghidupkan ijtihad, pada abad XX dengan inayah Allah SWT lahirlah ulama besar dari tepi sungai nil yang menerompetkan ijtihad, yang di kenal dengan Al-Imam Muhammad Abduh, dan usha itu berhasil memulihkan kembali semangan ijtihad, kesadaran masyarakat telah puli dan mazhab-mazhab pun telah dapat dipersatukan kembali.  

E. TALFIQ

1. Pengertian

Dalam pengertian etimologi berarti “mencampuradukkan” atau menggabungkan persoalan dengan persoalan lain. Sedangkan pengertian secara terminologi yaitu menyelesaikan suatu masalah menurut hukum yang terdiri atas kumpulan dua maszhab atau lebih.

Secara jelasnya para ulama memberikan analogi bahwa seseorang boleh muqallid mengambil suatu masalah dari mujtahid dan mengambil masalah lain dari mujtahid lain. Juga boleh mengambil bebeberapa masalah dari suatu mazhab dan beberapa masalah lagi dari mazhab lain. Suatu masalah boleh diambil dari berbagai hukum yang berkaiatan dengan wasilah-wasilah dan mukadimah-mukadimah dari beberapa mazhab dan beberapa pendapat yang berlain-lainan, maka seperti itulah dinamakan dengan talfiq.[12]

2. Hukum Talfiq

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa talfiq yaitu beramal menurut hukum yang merupakan dari gabungan dari dua mazhab atau lebih, maka dalam hal ini setidaknya ada dua pendapat yang salang bertentangan dalam persolan penentuan hukm talfiq ini, diantaranya yaitu :

Pertama, Golongan yang menolak akan talfiq sebab jika seseorang telah berpegang pada suatu mazhab yang telah dipilihnya maka ia harus konsisten dengan mazhab itu, tidak dengan sebagian ataupun seluruhnya.

Kedua: golongan yang membolehkan bertalfiq walaupun dalam maksud pemindahannya itu guna mencari kemudahan, ia boleh mengambil dari tiap-tiap mazhab akan hukum yang dianggapnya mudah dan ringan. Dalam hadis nabi pun banyak yang menyinggung akan persolan ini, diantaranya “ Agama itu mudah”. [13]
Hadits yang Lain menyatakan bahwa Rasulullah tidak pernah disuruh memilih sesuatu kecuali akan memilih yang paling  mudah, selama tidak membawa ke dosa.
Dalam al-Qur’an juga memberiakan sinyal akan kebolehan hal ini, Firman Allah dalam surah Al-Hajj: 78

($tBur Ÿ@yèy_ ö/ä3øn=tæ Îû ÈûïÏd9$# ô`ÏB 8ltym

Artinya :

…Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan….(Q.S. Al-Hajj: 78)

Dalam hal ini ada kaidah yang berbunyi, "al-ami la madzhaba lahu" orang awam tidak punya mazhab. Tidak punya mazhab artinya tidak terikat.

Dengan demikian dari kedua pendapat tersebut jelas bahwa ada kebolehan untuk bertaqlif, karena memang dalam Islam tidak ada secara jelas ayat atau hadis yang mewajibkan seseorang harus terkait dengan salah satu mazhab saja, begitu juga tidak ada nas yang jelas melarang untuk berpindah mazhab.

Hanya saja dalam hal-hal yang menyangkut kemasyarakatan maka yang berlaku adalah mazhab pemerintah atau pendapat yang diundangkan pemerintah lewat perundang-undangan. Hal ini dimaksudkan untuk keseragaman dan menghindarkan adanya kesimpang-siuran. Hal ini sejalan dengan kaidah, "Keputusan pemerintah mengikat atau wajib dipatuhi dan akan menyelesaikan persengketaan."

3. Contoh Talfiq
a. Dalam Ibadat.
Seseorang berwudhu menurut madzhab Syafi'i yang menyapu kurang dari seperempat kepala, kemudian ia bersentuhan kulit dengan seseorang lawan jenis, ia terus shalat dengan mengikuti madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa sentuhan tersebut tidak membatalkan wudhu. atau  Seseorang berwudhu mengikuti tata cara Syafi'i, kemudian ia shalat dengan menghadap kiblat dengan posisi sebagaimana ditentukan oleh madzhab Hanafi. 
b. Masalah Kemasyarakatan
Membuat undang-undang perkawinan dimana akad nikahnya harus dengan wali dan saksi karena mengikuti madzhab  Syafi'I, mengenai sah jatuhnya talaq raj'i mengikuti madzhab Hanafi yang memandang sah ruju' bi l-fi'li (langsung bersetubuh).
 
F. KESIMPULAN
                  Dalam Islam untuk memperoleh sebuah hukum akan sesuatu  maka perlu adanya suatu usaha, usaha itu  bisa beruipa ijtihad maupun dengan ittiba, taqlid dan talfiq.
                  Ijtihad menjadi kewajiban bagi ulama yang mampu berijtihad, dengan sayarat-syarat yang telah disepakati, diantaranya harus menguasai pengetahuan bahasa arab, ilmu Al-qur’an, ilmu hadis, pengetahuan tentang ijma, qiyas dan lain-lainnya. Ringkasnya seorang mujtahid harus mengetahui dalil-dalil yang tergolong kedalam dalil ijtihad, karena pada perinsipnya ijtihad adalah manifestasi pemikiran kefilsafatan.
                  Di lain sisi juga menjadi keharusan berittiba apabila tidak sanggup mencapai tingkatan ijtihad, berittiba dalam artian meneladani dan mengambil hukum dari para mujtahid akan tetapi paham akan konsep hukum tersebut, meskipun sebagain ulama menilai bahwa hal ini juga termasuk kategoi bertaqlid, akan tetapi dalam hal ini dikemukan bahwa berittiba lebih unggul dari pada bertaqlid, bertaqlid hanya mengambil hukum dari seseorang tanpa mengetahui dasar dari pengambilan tersebut, hal ini jelas sangat kelihatrannya perbedaanya, yang satu memeliki pengetahuan namun belum samapi pada tingkatan ijtihad, dan yang satunya  tidak memeiliki pengetahuan tentang apa yang diikutinya itu.
                  Disamping yang ketiga proses pengambilan hukum tersebut maka terdapat pula pengambilan hukum dengan cara bertalfiq, dalam artian menyelesaikan suatu perseolan dengan memakai beberapa paham, alairan atau mazhab.
                  Ijtihad, ittiba, tqlid dan talfiq menjadi pegangan untuk menyelesaikan hukum, meskipun dalam realitanya hal ini masih ada pertentangan dikalangan para ulama akan boleh tidaknya, namun secara garis besar bahwa ke empat cara ini menjadi  pegangan dalam masyarakat Islam dalam mengistimatkan hukum.

G. DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddiqi, T.M. Hasab. Prof Dr, 1980, Pengatar Hukum Islam, Jakarta: Bulang Bintang

Basyir, Ahmad Azhar, dkk, 1994, Ijtihad dalam Sorotan, Bandung: Mizan

Djamali, Fturrahman, DR. H. M.A, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta: Logos

Khallaf, Abdul Wahab. Prof, 1994, IlmuUshul Fiqh, Semarang: Toha Putra

Koto, Alaiddin. Prof. Dr. H. M.A, 2004, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh Sebuah Pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Uman, Khairul. Drs, dan Drs. H.A. Achyar Aminudin, 2001, Ushul Fiqh II, Bandung: CV. Pustaka Setia

Uways, Abdul Halim. Dr, 1998, Fiqih Statis dan Dinamis, Bandung: Pustaka Hidayah

Zahra, Muhammad Abu, 1958, Ushul Fiqh, Mesir: Darul Fiqri al-Araby



[1] Penuluis adalah Mahasiswa STAIN SAMARINDA

[2] Dr. Abdul Halim Uways, Fiqih Statis dan Dinamis, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), h. 177

[3] Prof. Abdul Wahab Khallaf, IlmuUshul Fiqh, (Cet. I, Semarang: Toha Putra, 1994), h, 338

[4] Drs. Khairul Uman dan Drs. H.A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqh II, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), h. 131

[5] Drs. Khairul Uman dan Drs. H.A. Achyar Aminudin, Op. Cit, h. 134

[6] Prof Dr. T.M. Hasab, Ash Shiddiqi, Pengatar Hukum Islam, (Cet. 6, Jakarta: Bulang Bintang, 1980), h. 177

[7] DR. H. Fturrahman Djamali, M.A, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, ), h 19

[8] Ibid, h. 19

[9] Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, (Mesir: Darul Fiqri al-Araby, 1958), h. 379

[10] Prof. Dr. H. Alaiddin Koto, M.A, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh Sebuah Pengantar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 130

[11] Drs. Khairul Uman dan Drs. H.A. Achyar Aminudin, Op.Cit, h.153-154

[12] Drs. Khairul Uman dan Drs. H.A. Achyar Aminudin, Op.cit, h, 164

[13] Ahmad Azhar Basyir dkk, Ijtihad dalam Sorotan, (Cet. III, Bandung: Mizan, 1994), h. 37

ANSUR ARSYAD

ANSUR ARSYAD
KKL

ANSUR

ANSUR
TAMU

ANSUR ARSYAD

ANSUR ARSYAD
bersama mahasiswa STAIN Kudus

Ansur

Ansur
Keribo

Ansur Arsyad

Ansur Arsyad
apa ya? ??

ANSUR ARSYAD

ANSUR ARSYAD
gak tau ah..

ANSUR ARSYAD

ANSUR ARSYAD
Diam aja

ANSUR ARSYAD

ANSUR ARSYAD
Ehemmm

KKL PPU

KKL PPU
ANSUR

BUKA PUASA BERSAMA

BUKA PUASA BERSAMA
ANSUR

ACARA PB

ACARA PB
ANSUR

SUMA

SUMA
ANSUR

PKL PPU

PKL PPU
ANSUR

TAMU

TAMU

KKL ppu

KKL ppu

buka puasa

buka puasa

sekolah ppu

sekolah ppu

pantai manggar

pantai manggar

sekolah SMP2

sekolah SMP2

moderator

moderator

tamu

tamu

jogia

jogia

pmii

pmii

semrang

semrang